[Ga tau, lagi pen nulis aja pt. 2]
"Selamat ulang tahun, Mera Ayshalynn" Bisik Biru tepat ditelinga Mera.
Refleks Mera memeluk Biru, "Makasih ya, Ru. Lo emang sahabat yang paling juara deh"
Biru membalas pelukan Mera sambil mengusap pelan puncak kepala Mera, "Mer, gue sayang sama lo"
"Gue juga sayang sama lo, Ru. Sayang banget malah"
Biru hanya tersenyum. Dia sudah tau bahwa Mera akan mengatakan kalimat tersebut setiap kali Biru mengatakan kalau dia sayang Mera.
"Tapi gue beda, Mer. Rasa sayang gue bukan rasa sayang ke sahabat. Gue sayang lo sebagai laki laki ke perempuan"
Deg. Kata kata Biru membuat Mera terkejut sekaligus berpikir, tak berani ditatapnya Biru bahkan untuk melepaskan pelukan saja ia tak berani. Apa iya? Apa iya Biru orangnya? Apa iya pencarianku selama ini justru berpulang kepada sahabatku sendiri?, batin Mera.
"Mer? Mera? Lo denger gue kan?" Biru berbisik kecil tepat ditelinga Mera.
"Ha? Iya, Ru?" Bisikan Biru menyadarkan Mera dari lamunanya dan menguraikan pelukannya pelan.
"Gue sayang sama lo, Mer" ulang Biru. Kalimat yang dari lama ingin sekali Mera dengar sekaligus kalimat yang berkali-kali Mera rutuki kenapa akhirnya Biru berani untuk mengungkapkannya.
"Apaansih, Ru. Becanda lo ah" Mera berusaha mengontrol dirinya. Dia sama sekali bingung harus bereaksi apa; entah harus sedih atau senang.
"Gue serius, Mer" ucap Biru kembali meyakinkan.
"Ah gila lo, perasaan orang lo becandain, kelewatan" Mera berbalik arah dan berjalan meninggalkan Biru.
"Mer, gue serius, gue mau lo lebih dari sahabat"
Refleks Mera memeluk Biru, "Makasih ya, Ru. Lo emang sahabat yang paling juara deh"
Biru membalas pelukan Mera sambil mengusap pelan puncak kepala Mera, "Mer, gue sayang sama lo"
"Gue juga sayang sama lo, Ru. Sayang banget malah"
Biru hanya tersenyum. Dia sudah tau bahwa Mera akan mengatakan kalimat tersebut setiap kali Biru mengatakan kalau dia sayang Mera.
"Tapi gue beda, Mer. Rasa sayang gue bukan rasa sayang ke sahabat. Gue sayang lo sebagai laki laki ke perempuan"
Deg. Kata kata Biru membuat Mera terkejut sekaligus berpikir, tak berani ditatapnya Biru bahkan untuk melepaskan pelukan saja ia tak berani. Apa iya? Apa iya Biru orangnya? Apa iya pencarianku selama ini justru berpulang kepada sahabatku sendiri?, batin Mera.
"Mer? Mera? Lo denger gue kan?" Biru berbisik kecil tepat ditelinga Mera.
"Ha? Iya, Ru?" Bisikan Biru menyadarkan Mera dari lamunanya dan menguraikan pelukannya pelan.
"Gue sayang sama lo, Mer" ulang Biru. Kalimat yang dari lama ingin sekali Mera dengar sekaligus kalimat yang berkali-kali Mera rutuki kenapa akhirnya Biru berani untuk mengungkapkannya.
"Apaansih, Ru. Becanda lo ah" Mera berusaha mengontrol dirinya. Dia sama sekali bingung harus bereaksi apa; entah harus sedih atau senang.
"Gue serius, Mer" ucap Biru kembali meyakinkan.
"Ah gila lo, perasaan orang lo becandain, kelewatan" Mera berbalik arah dan berjalan meninggalkan Biru.
"Mer, gue serius, gue mau lo lebih dari sahabat"
Tepat pada langkah ketiga ucapan Biru berhasil menghentikan Mera. Mera berbalik arah dan menatap Biru yang sedang menatapnya berusaha meyakinkan sampai akhirnya Mera angkat bicara,
"Ga seharusnya kita kayak gini,Ru" Dibuangnya napasnya gusar. "Gue gabisa" lanjut Mera.
"Kenapa? Cuma karena aku mantan temen kamu dan kamu mantan temen aku?" Tebak Biru.
Tepat sasaran. Mera diam. Tak ingin menjawab pertanyaan Biru. Dibuangnya wajahnya kearah barat, dimana senja perlahan meninggalkan cakrawala. Mera berharap, semoga rasa yang seharusnya tidak tumbuh atau bahkan dengan gilanya akan mekar ini ikut tenggelam. Tanpa meninggalkan bekas apapun, hingga fajar datang sebagai hari baru.
"Kenapa Mer?" Biru mendekat, lagi.
"Yah karena ... gue ga cinta sama lo" Mera berusaha untuk meyakinkan dirinya. Kalau dia dan Biru benar - benar hanya sebatas teman. Tidak lebih. Walaupun hal ini adalah hal yang paling ditunggu-tunggu oleh Mera tetapi kenapa terasa sangat menyiksa ketika harinya tiba.
"Lihat gue" Biru menangkupkan tangannya di pipi Mera. "Coba bilang itu sambil lihat mata gue"
Ini gila, pertahanan Mera runtuh. Kalau Mera tidak cinta maka dengan berani akan Mera katakan. Tapi masalahnya, Mera memiliki rasa yang lebih besar dari sekedar cinta. Entah perasaan apa itu Mera tidak tahu, yang Mera tahu, ia hanya ingin Biru tetap ada disampingnya, entah menjadi siapapun itu; sahabat atau pacar. Perlahan Mera berusaha melihat mata sepekat obsidian milik Biru, tetapi ia masih saja diam, mata Biru membungkam mulutnya.
"Iya" ucapnya lantang. "Gue ... gue ga-" Belum sempat Mera menyelesaikan kalimatnya Biru sudah menarik Mera kedalam pelukannya.
"Kalau memang ga sanggup gausa dipaksa, karena gue tau, Mer, lo cinta sama gue. Cinta memang ga bisa di paksa untuk saling memiliki, tapi itu untuk beberapa kasus yang bertepuk sebelah tangan. Ngga dengan kasus kita, kan?"
Biru menarik nafasnya dalam, "Lo free, gue free, dan kita saling cinta. Jadi tunggu apa lagi?"
Komentar
Posting Komentar