[Ga tau, lagi pen nulis aja pt.3]
Kemarin sore dia pulang kerumah bercucuran air mata dan langsung membekap dikamar. Kelakuannya membuat seisi rumah cemas. Sudah beberapa kali pintu kamarnya diketuk, tapi ia masih enggan untuk membukanya. Setelah menangis semalam suntuk, pagi ini dia bangun dengan kantung mata segeda gaban. Dipandanginya wajah yang terpantul didepan cermin itu. "Gapapa" Kalimat itu keluar dari mulutnya tanpa aba aba. Pandangannya jatuh pada dua orang didalam bingkai yang terletak diatas nakas cermin itu. Bersamaan dengan tangannya yang menyentuh untuk mengambil bingkai itu, gawai yang tergeletak dikasur berbunyi. Ada telpon masuk disana, dari seseorang yang sudah sewindu bersamanya.
"Selamat pagi"
"Saya denger kamu belum mau buka kamar ya?"
"Kan semalam sudah janji, sedihnya sampai situ aja"
Dia hanya diam, tidak merespon sama sekali.
"Hey, dengar saya ya. Pada akhirnya kita semua memang akan kembali sendiri. Entah ditinggalkan atau justru kita yang meninggalkan. Saya, kamu, kita semua punya dunianya masing masing. Dunia yang sudah kita bangun dari kecil. Dunia yang kita idam idam kan. Dunia yang kita bisa temui diri kita disitu. Yah walaupun sama kamu saya sudah nemui diri saya sendiri. Tapi yang ini beda, ini bukan hanya tentang saya sama kamu, ini lebih luas dari itu. Kamu juga pasti punya dunia yang sudah kamu rancang, kan? Kamu harus ingat, yang pergi memang harus pergi, yang ditakdirkan menetap pasti akan tinggal. Itu bukan kita yang minta, tapi memang sudah di atur sama Tuhan. Kita semua pasti akan ketemu orang baru, kamu pasti akan ketemu orang baru, begitupun saya -"
Orang yang diseberang telpon itu membuang napasnya pelan dan mengakhiri kalimatnya "Saya pergi, bukan berarti mau ninggali kamu selamanya. Sudah, kamu jangan sedih lagi, saya pasti kembali kok"
Tapi duniaku ada dikamu, dunia yang aku bangun dari kecil. Aku ga butuh orang baru, aku cuma butuh kamu, itu aja sudah cukup buat aku. Ingin sekali dia meloloskan kalimat itu dari mulutnya, tapi sial, mulutnya terkunci rapat.
"Kamu masih belum mau bicara sama saya?"
Dia hanya diam menatap bingkai yang dipegangnya.
"Yasudah gapapa. Jadi? Kamu yakin nih ga mau liat saya dulu sebelum pergi?"
"Kalau kamu berubah pikiran, saya sudah kirimin kamu foto tiket saya ya"
Aku tau niat kamu mulia, menyumbangkan dirimu menjadi seorang relawan dalam bidang medis. Aku tahu aku gabakalan bisa menghentikan kamu, orang paling keras kepala yang aku kenal. Tapi tempat yang ingin kamu kunjungi adalah tempat dimana bom dan peluru adalah makanan mereka sehari hari. Bagaimana mungkin aku bisa percaya? Lagi lagi kalimat itu hanya disimpannya sendiri.
Tanpa persetujuan dari sang penelpon, telepon dimatikan sepihak tepat setelah tetesan pertama air matanya jatuh membasahi bingkai.
Komentar
Posting Komentar